Rabu, 27 Juli 2011

komparasi keanekaragaman serangga herbivora antara kebun kelapa sawit dan areal konservasi

I.PENDAHULUAN


I.1Latar Belakang
Serangga merupakan kelompok organisme yang paling banyak jenisnya dibandingkan dengan kelompok organisme lainnya dalam Phylum Arthropoda. Hingga saat ini telah diketahui sebanyak lebih kurang 950.000 spesies serangga didunia, atau sekitar 59,5% dari total organisme yang telah dideskripsi (Sosromartono, 2000). Tingkat keragaman serangga yang sangat tinggi dapat beradaptasi pada berbagai kondisi habitat, baik yang alamiah seperti hutan-hutan primer maupun habitat buatan manusia seperti lahan pertanian dan perkebunan (Siswanto & Wiratno, 2001).
Tingginya keanekaragaman serangga berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas produk pertanian yang dihasilkan. Kestabilan populasi hama dan musuh alaminya umumnya terjadi pada ekosistem alami sehingga keberadaan serangga hama pada pertanaman tidak lagi merugikan. Kenyataan tersebut perlu dikembangkan sehingga mampu menekan penggunaan pestisida untuk menekan serangga hama di lapangan, terutama pada tanaman-tanaman yang berorientasi ekspor dan mempunyai nilai ekonomi tinggi (Siswanto & Wiratno, 2001).
Keanekaragaman hayati telah menjadi perhatian utama para ahli ekologi dalam beberapa dekade terakhir. Penelitian mengenai keanekaragaman hayati telah banyak dilakukan terutama pada serangga. Hal ini disebabkan karena serangga merupakan komponen keanekaragaman hayati yang paling besar jumlahnya, mempunyai fungsi ekologi yang penting dan dapat menjadi indikator rusaknya lingkungan (Scowalter,2000).
Informasi tentang keanekaragaman hayati pada areal perkebunan kelapa sawit sangat diperlukan dalam mendukung perkembangan komoditas tersebut secara organik untuk terwujudnya sistem pertanian berkelanjutan dan berbasis pada kelestarian ekosistem. Organisme yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan budidaya tanaman kelapa sawit adalah serangga herbivora.
Keanekaragaman serangga herbivora baik dalam hal kelimpahan dan kepunahan maupun kekayaannya juga sangat terkait dengan tingkat tropik lainnya. Hal ini disebabkan adanya interaksi yang terjadi, baik diantara kelompok fungsional serangga maupun dengan tumbuhan yang selanjutnya akan membentuk keanekaragaman serangga itu sendiri. Penurunan keanekarangaman spesies serangga herbivora dapat menimbulkan ‘efek domino’ terhadap keanekaragaman musuh alami serangga-serangga herbivora tersebut. Kemungkinan ini cukup beralasan karena serangga herbivora mendukung hampir setengah dari jumlah spesies predator dan parasitoid (Bernays, 1998).
Alasan lainnya adalah sebagian besar spesies serangga herbivora berifat monofag. Dari hasil inventori yang dilakukan terhadap 5000 spesies serangga herbivore di Inggris diketahui bahwa 80% diantaranya bersifat monofag dan kurang dari 10% memakan tanaman lebih dari 3 famili (Schoonhoven et all., 1998). Selain itu setiap spesies serangga membutuhkan mikrohabitat yang unik atau spesifik. Semakin sedikit spesies tumbuhan yang dijumpai pada suatu areal, semakin sedikit variasi mikrohabitat yang tersedia dan semakin sedikit pula spesies serangga yang mampu didukungnya.
Keanekaragaman serangga herbivora yang berasosiasi dengan kelapa sawit seringkali diabaikan. Hal ini mengakibatkan informasi atau data tentang hal tersebut sangat terbatas. Selain itu, pembentukan areal konservasi yang berdampingan dengan lahan kelapa sawit disinyalir menciptakan fenomena tersendiri, baik yang terkait langsung dengan keanekaragaman serangga herbivora maupun yang terkait secara tidak langsung dengan musuh alami serangga herbivora tersebut. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah pembentukan areal konservasi dapat menjadi habitat alternatif bagi serangga herbivora?. Berkaitan dengan hal itu diperlukan suatu penelitian secara terencana untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan melihat perbandingan keanekaragaman serangga herbivora yang ditemukan pada lahan kelapa sawit dan areal konservasi.

I.2Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan suatu permasalahan yaitu bagaimana keanekaragaman serangga herbivora yang ditemukan pada lahan kelapa sawit dibandingkan dengan serangga herbivora yang ditemukan pada areal konservasi.

I.3Tujuan penelitian
Untuk mengetahui perbandingan keanekaragaman serangga herbivora antara lahan kelapa sawit dan areal konservasi.


II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Serangga Herbivora
Herbivora adalah semua jenis hewan yang memakan jaringan tanaman (Gordh & Headrick 2001). Secara spesifik, menyatakan bahwa serangga herbivora merupakan serangga yang memakan tumbuhan, atau dikenal dengan istilah serangga fitofag. Lebih jauh Schowalter (2000) menyatakan bahwa serangga herbivora meliputi: 1) serangga menggigit mengunyah (chewers) bagian tanaman seperti daun, tunas, bunga, polen, biji dan akar; 2) serangga pengorok dan penggerek (miners dan borers) yang memakan bagian antara permukaan tanaman; 3) serangga pembuat puru (goll-formers) yang memakan bagian dalam tanaman dan merangsang reaksi pertumbuhan abnormal pada jaringan tanaman; 4) serangga pengisap (sap-suckers) cairan tanaman; dan 5) serangga pemakan biji dan bagian reproduksi tanaman.
Kebanyakan tipe-tipe tumbuhan, termasuk jenis hasil-hasil tanaman yang sedang tumbuh, diserang dan dirusak oleh serangga. Kerusakan itu disebabkan karena dimakan serangga atau bertelurnya pada tumbuhan atau bertindak sebagai agen dalam penularan penyakit-penyakit tumbuhan.
Cara makan serangga pengunyah pada daun-daunan mengakibatkan daun-daun tinggal tulang daun; membuat banyak lubang, sekeliling pinggiran-pinggiran daun dimakan atau seluruhnya dimakan. Serangga yang lebih kecil makan diantara tulang-tulang daun sehingga tinggal rangka daun, sedangkan serangga-serangga yang lebih besar memakan sebagian atau seluruh daun.
Serangga –serangga yang makan dengan cara ini adalah belalang, larva berbagai spesies kupu-kupu, ngengat, lalat gergaji dan kumbang. Serangga-serangga lain makan tumbuh-tumbuhan. Kerusakan pada tumbuh-tumbuhan disebabkan oleh pengambilan cairan tumbuhan dan oleh luka-luka yang nyata pada jaringan-jaringan tanaman. Serangga-serangga utama yang makan dengan cara ini adalah serangga sisik, kutu aphid, peloncat daun, peloncat jingkat dan berbagai hemiptera. Beberapa serangga merusak tumbuhan bila mereka bertelur dicabang-cabang atau buah. Cicada musim periodik bertelur pada ranting-ranting, biasanya merusak banyak ranting sehingga bagian ujungnya mati dan melemah sehingga mudah patah pada tempat perteluran.
Selain itu serangga dapat bertindak seabagai vektor pembawa pathogen tumbuhan. Pathogen secara kebetulan dapat masuk melalui lubang-lubang untuk telur atau lubang untuk makanan serangga. Pathogen juga dapat ditularkan pada atau dalam tubuh serangga dari satu tumbuhan lain dan pathogen dapat tetap tinggal didalam tubuh serangga tersebut dalam jangka waktu yang pendek (tidak tetap atau setengah tetap) atau untuk jangka waktu panjang (tetap atau beredar) dan dapat dimasukkan kedalam tumbuhan melalui cara makan serangga (Borrer et al, 1996).

2.2 Keanekaragaman Hayati dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya
Menurut begon et al. (1998), keanekaragaman hayati adalah aspek keanekaragaman makhluk hidup, khususnya digunakan untuk menjelaskan jumlah spesies, variasi genetik dalam sejumlah tipe komunitas yang dipelihara pada suatu daerah. Pengaruh kehilangan keanekaragaman hayati pada suatu komunitas dan ekosistem merupakan suatu hal yang komplek serta memberikan pengaruh tidak langsung dan umpan balik yang dimediasi oleh perubahan dalam kestabilan komunitas, produktivitas dan interaksi jaringan makanan. Meskipun banyak pengaruh tersebut yang kurang digali dan beberapa yang sepenuhnya bersifat hipotesis, ada banyak bukti data bahwa kehilangan spesies dapat menimbulkan organisasi ulang dari ekosistem komplek dan drastis. Interaksi tropis memainkan peranan penting dalam kebanyakan proses tersebut. Oleh karena itu untuk pengertian yang lebih baik dari isu penting tersebut, kestabilan dan produktivitasnya dipelajari bersama-sama dalam konteks jaringan makanan yang sebenarnya (Worm & Duffi, 2003).
Keanekaragaman arthropoda terutama serangga, sangat rentan berubah akibat terjadinya perubahan atau gangguan pada habitat dan pengaruhnya berbeda atau satu taksa dengan taksa lainnya. Chey et al (1998) mengemukakan bahwa meskipun keanekaragaman hymenoptera berkurang oleh pergantian hutan tropis menjadi pertanaman, tetapi kelimpahan dan kekayaan arthropoda pada habitat pertanaman tersebut masih benar.
Sistem pertanian juga dapat mempengaruhi keanekaragaman serangga terhadap serangga herbivora maupun musuh alaminya. Wibull et al (2003) mengamukakan bahwa tidak terdapat perbedaan kekayaan spesies serangga diantara sistim pertanian kovensional dan kekayaan spesies secara umum meningkat dengan keberagaman lanskap pada suatu lahan.



2.3 Fakto-Faktor yang Mempengaruhi Serangga
2.3.1 Faktor Dalam
Faktor dalam yang mempengaruhi perkembangan serangga meliputi: 1) kemampuan untuk berkembang biak, 2) siklus hidup, 3) kecepatan berkembangbiak, 4) perbandingan kelamin, dan 5) fekunditas atau kemampuan bertelur imago betina. Pada umumnya serangga yang mempunyai kemampuan berkembang biak tinggi, populasinya juga akan tinggi. Akan tetapi, hal ini sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Selanjutnya, serangga dengan siklus hidup yang singkat dan kecepatan dalam berkembangbiak tinggi, biasanya akan diikuti oleh populasi tinggi. Selain itu, semakin tinggi persentase betina dan semangkin tinggi kemampuan bertelur imago betina tersebut maka semakin tinggi persentase betina dan semakin tinggi kemampuan bertelur imago betina tersebut maka semangkin tinggi tingkat populasinya (Hidayat, 2009).
2.3.2 Faktor Luar
Faktor luar yang mempengaruhi perkembangan serangga yaitu faktor abiotik dan faktor biotik. Faktor abiotik meliputi: suhu, kelembaban, cahaya, curah hujan dan angin. Pada umumnya suhu dapat mempengaruhi aktivitas serangga, penyebaran geografis dan lokal dan perkembangan serangga. Kelembaban mempengaruhi penguapan cairan tubuh serangga, preferensi serangga terhadap tempat hidup dan tempat persembunyian serta seragga juga tertarik pada gelombang cahaya tertentu, bahkan ada serangga yang menjauh jika ada cahaya.
Hujan yang lebat dapat menyebabkan serangga tanah terendam akibat adanya aliran air. Selain itu, hujan juga dapat menyebabkan kelembaban meningkat dan patogen dapat berkembang dengan baik dan angin dapat mempengaruhi pemencaran serangga-serangga kecil. Sedangkan faktor biotik yaitu musuh alami dan makanan. Kebutuhan yang sama pada tempat yang sama dapat menyebabkan kompetisi, baik sesama spesies maupun pada spesies yang berbeda. Musuh alami serangga yaitu predator, parasitoit dan entomopatogen. Serangga sangat tergantung pada kualitas dan kuantitas makanan. Jika makanan dalam jumlah yang banyak populasi serangga akan cepat naik. Akan tetapi jika jumlah makanan sedikit, populasi serangga turun. Sedangkan komposisi zat gizi dalam suatu tanaman harus sesuai dengan kebutuhan serangga. Tanaman yang resisten mempunyai kualitas yang rendah bagi serangga karena komposisi didalamnya tidak sesuai dengan kebutuhan zat gizinya (Hidayat, 2009).



III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

2.1 Tempat dan Waktu penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di perkebunan kelapa sawit Alue Bilie, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya dan Laboratorium Hama Tumbuhan. Waktu penelitian dimulai dari bulan Desember 2010 – Juni 2011.

2.2 Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah imago yang terdapat di kebun kelapa sawit yang berumur 2-3 tahun setelah tanam, alkohol 70%, formalin 4%, deterjen, aquadest, tali rafia, kertas lebel, kantong plastik, dan kain kasa.
Alat yang digunakan antara lain perangkap nampan kuning (yellow-pan trap), perangkap jebakan (pitfall trap), perangkap cahaya (ligh trap), skop kecil, jerigen 5 liter, timba kecil, botol film, kuas kecil, baskom, mikroskop, pinset, lup, buku identifikasi dan alat tulis-menulis.

2.3 Pelaksanaan Penelitian
2.3.1 Pengambilan Sampel Serangga
Pengambilan sampel serangga dilakukan dengan cara memasang perangkap di lapangan. Ada tiga perangkap yang digunakan untuk mengambil sampel yaitu pitfall trap, yellow-pan trap dan ligh trap. Pemasangan perangkap dilakukan pada lahan kebun kelapa sawit dan areal konservasi plot berukuran ± 2 x 2 m masing-masing sebanyak 4 buah dengan jarak antar plot ± 100 m, kemudian pada masing-masing plot ditempatkan 4 buah pitfall trap dan 4 buah yellow-pan trap. Kedua perangkap tersebut di isi dengan campuran formalin 4% dan deterjen cair 4% hingga setengah bagian. Kedua perangkap ini dipasang selama 12 jam mulai dari pukul 06.00 wib hingga 18.00 wib. Ligh trap di pasang pada malam hari sebanyak 2 buah dengan cara di gantung pada cabang kayu atau tonggak dengan ketinggian ± 3 m. Sebagai penjebak serangga, di bagian bawah ligh trap dipasang baskom yang yang berisi campuran formalin 4% hingga setengah bagian. Serangga yang tertangkap dimasukan kedalam tabung film dan diberi label sesuai dengan jenis perangkap masing-masing dan kemudian dibawa ke laboratorium untuk disortir dan diidentifikasi hingga tingkat morfospesies.

2.3.2 Sortasi dan Identifikasi Serangga
Sortasi dan identifikasi serangga sampel yang dikoleksi dari lapangan dilakukan di Laboratorium Hama Jurusan Hama dan Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian Unsyiah. Identifikasi serangga mengacu pada buku identifikasi yang tersedia.

2.4 Peubah yang Diamati
2.4.1 Total Serangga Herbivora
Total serangga herbivora merupakan jumlah keseluruhan serangga herbivora yang telah dikumpulkan pada lokasi pengambilan sampel.
2.4.2 Komposisi Komunitas Serangga Herbivora
Komposisi dan struktur komunitas serangga herbivora didasarkan pada kekayaan spesiesnya menurut ordo.

2.4.3 Kekayaan, Keanekaragaman, dan Kemerataan Spesies Serangga Herbivora
Untuk menggambarkan keanekaragaman morfospesies serangga digunakan kekayaan spesies, indeks keanekaragaman dan indeks kemerataan Shannon-Wienner (Manguran, 1988; Krebs, 1999). Formulasi yang digunakan untuk menghitung indeks keanekaragaman Shannon-Wienner adalah:
H'=- pi Ln(pi)
Dimana: H' = Indeks Keanekaragaman
Pi = Proporsi Spesies ke-i terhadap total jumlah
Spesies
Sementara itu, formulasi yang digunakan untuk menghitung indeks kemerataan Shannon- Wienner adalah:
E=H'Ln(S)
Dimana: E = Indeks Kemerataan
H' = Indeks Keanekaragaman
S = Total Jumlah Spesies

2.5 Analisis Data
Pendugaan kekayaan spesies serangga herbivora pada lahan kelapa sawit dan areal konservasi digunakan Jackknife Estimator (Colwell, 2000). Untuk membuat Kurva akumulasi spesies, jumlah morfospesies, dibuat dengan mengacak jumlah yang diperoleh pada setiap petak sampel sebanyak 50 kali dengan program EstimateS 6.0b1 (Colwell, 2000). Indeks keanekaragaman dan indeks kemerataan dihitung menggunakan program Primer 5. Signifikansi perbedaan kekayaan, keanekaragaman, dan kemerataan spesies serangga herbivora antara lahan kelapa sawit dan areal konservasi dianalisis dengan uji- T pada selang kepercayaan 95%.




IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Total Serangga Herbivora
Jumlah keseluruhan serangga herbivora yang berhasil dikumpulkan pada lokasi pengambilan sampel adalah sebanyak 13.038 individu yang termasuk dalam 8 ordo dan 87 spesies (Tabel Lampiran 1). Jumlah spesies serangga herbivora paling banyak ditemukan pada areal konservasi sbanyak 73 spesies, sedangkan pada kebun kelapa sawit ditemukan sebanyak 55 spesies (Gambar 1). Ordo Coleoptera, Lepidoptera, Hemiptera, dan Diptera merupakan ordo yang paling dominan pada kedua tipe habitat.

Gambar 1. Jumlah Spesies Setiap Ordo Serangga Herbivora pada Kebun Kelapa Sawit (KS) dan Areal Konservasi (AK)
Ordo Coleoptera, Lepidoptera, dan Diptera bukan hanya memiliki jumlah spesies yang tinggi, tetapi juga memiliki kelimpahan relatif individu tertinggi pada kedua tipe habitat (Gambar 2). Hasil penelitian ini sesuai dengan laporan Laselle & Gauld (1993) yang menyatakan bahwa ordo Coleoptera, Diptera, dan Lepidoptera merupaka tiga kelompok serangga yang paling besar, di samping ordo Hymenoptera.

Gambar 2. Kelimpahan Individu Setiap Ordo Serangga Herbivora pada Kebun Kelapa Sawit (KS), dan Areal Konservasi (AK).


4.2 Komposisi Komunitas Serangga Herbivora
Hasil pengamatan terhadap komunitas serangga herbivora berdasarkan kekayaan spesiesnya menunjukkan bahwa kelompok serangga herbivora yang paling dominan pada kebun kelapa sawit dan areal konservasi adalah Ordo Coleoptera (Gambar 3). Demikian juga dengan hasil pengamatan terhadap komunitas serangga herbivora berdasarkan kelimpahan individu menunjukkan bahwa kelompok serangga herbivora yang paling dominan pada habitat kebun kelapa sawit dan areal konservasi adalah Ordo Coleoptera (Gambar 4).


Gambar 3. Komposisi Komunitas Serangga Herbivora Berdasarkan Kekayaan Spesies pada Kebun Kelapa Sawit (KS) dan Areal Konservasi (AK).


Gambar 4. Komposisi Komunitas Serangga Herbivora Berdasarkan Kelimpahan Individu pada Kebun Kelapa Sawit (KS) dan Areal Konservasi (AK).

4.3 Kekayaan, Keanekaragaman, dan Kemerataan Spesies Serangga Herbivora
Kekayaan, keanekaragaman, dan kemerataan spesies serangga herbivora tidak berbeda nyata antara kebun kelapa sawit dengan areal konservasi (Gambar 5). Hasil analisis menggunakan Uji-T menunjukkan bahwa kekayaan spesies serangga herbivora tidak berbeda nyata antara kebun kelapa sawit dan areal konservasi (p=0,082). Hasil yang sama juga terlihat pada keanekaragaman serangga herbivora yang tidak berbeda nyata antara kelapa sawit dan areal konservasi (p= 0,31). Demikian pula halnya dengan kemerataan spesies serangga herbivora antara kedua tipe habitat tersebut (p=0,262).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa serangga herbivora dapat menjadikan areal konservasi maupun kebun kelapa sawit sebagai habitat hidupnya, artinya ketika kebun kelapa sawit bebas dari vegetasi yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan serangga herbivora tersebut maka dia akan pindah ke areal konservasi. Fakta ini dapat bersifat positif dan dapat juga bersifat negatif. Sifat positif akan muncul jika dikaitkan dengan keberadaan dan kelestarian musuh alami serangga herbivora, terutama predator dan parasitoid. Jika tidak ada gulma atau tanaman inang di kebun kelapa sawit, maka serangga herbivora akan berpindah ke areal konservasi, sehingga serangga herbivora tersebut tidak akan punah karena selalu memiliki tanaman inangnya, begitu juga halnya dengan musuh alami baik predator maupun parasitoid tidak akan punah karena inangnya selalu ada yaitu serangga herbivora. Selama serangga herbivora bisa bertahan hidup, maka semua musuh alami juga tidak akan punah, sehingga serangga herbivora dan musuh alami menjadi satu rantai makanan yang tidak akan pernah punah.
Sifat negatif juga bisa terjadi, karena serangga herbivora yang bersifat polifag bisa menyerang tanaman kelapa sawit. Schoonhoven et al. (1998) menyatakan bahwa serangga herbivora polifag memakan lebih banyak tumbuhan dari spesies yang berbeda untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya, yang sering sekali berbeda untuk setiap fase pertumbuhannya. Selain itu juga menyatakan bahwa setiap spesies tumbuhan menyediakan suatu mikro habitat yang unik bagi serangga.
Areal konservasi adalah tempat yang cocok untuk serangga herbivora polifag karena adanya spesies tumbuhan yang banyak di areal tersebut, dan areal konservasi tersebut sangat berdekatan dengan kebun kelapa sawit, sehingga serangga herbivora bisa begitu mudah memasuki kebun kelapa sawit.







Gambar 5. Kekayaan, Keanekaragaman, dan Kemerataan Spesies Serangga Herbivora pada Kebun Kelapa Sawit (KS) dan Areal Konservasi (AK)




V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
1.Jumlah keseluruhan serangga herbivora yang dikumpulkan dari lokasi pengambilan sampel adalah sebanyak 13.038 Individu yang termasuk dalam 8 ordo dan 87 spesies. Jumlah spesies serangga herbivora lebih banyak ditemukan pada areal konservasi (73) dibandingkan dengan yang ditemukan pada kebun kelapa sawit (55 spesies).
2.Kelompok serangga herbivora yang paling dominan pada kebun kelapa sawit dan areal konservasi adalah Ordo Coleoptera, baik dari segi kekayaan spesies maupun kelimpahan individu.
3.Kekayaan, keanekaragaman, dan kemerataan spesies serangga herbivora tidak berbeda nyata antara kebun kelapa sawit dan areal konservasi, artinya serangga herbivora dapat menjadikan kedua tipe habitat tersebut sebagai habitat hidupnya.

5.2 Saran
Perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk melihat seberapa besar populasi serangga herbivora yang bersifat polifag yang bisa menyerang tanaman kelapa sawit.



DAFTAR PUSTAKA


Bernays, E.A. 1998. Evolution of feeding behavior in insect herbivora: Successeen as different ways to eatwithout being eaten. Bioscience 48(1): 35-44.

Borror, D.J., C.A. Triplehorn & N.F. Jhonson, 1996. pengenalan Pelajaran Serangga . Gadjah Mada University Prees. yogyakarta.

Chey, V.K., J.D Holloway, C. Hambler & M.R.1998. Canopy Knowkdown of Arthropods in Exotic Plantation and Natural Fores in Sabah, North-east Borneo, Using Insecticidal Mist-Blowing. Bull of entomol Reaceaching

Gordh G & Headrick, D.H. 2001. A Dictionary of Entomology. CABI Publissing. Massacuchet.

Hidayat, P. 2009. Perlintan. http://web.ipb. ac. id/ phidayat/perlintan/ kunci %20 bab% 20IV.pdf. [24 juli 2009]

Krebs, C.J. 1999. Ecological Metodology. Second Edition. New York: An imprint of Addison Wesley Longman, Inc.

Magurran, A.E. 1996. Ecological Diversity and Its Measurement. London: Chapman and Hall.

Schoonhoven, L.M., T. Jermy, J.J.A. Van., Loon. 1998. Insect-plant Biology: From Physiology to Evolution. London: Chapman & Hall.

Schowalter, T.D. 2000. Insect Ecology: An Ecosystem Approach. San Diego: Academic Press.

Siswanto & Wiratno. 2000. Biodervisitas serangga pada tanaman panili (Vlanillaplanipolia) dengan tanaman penutup tanah Arachis pintoi K. (Proseding Seminar Nasional III). Perhimpunan Entomologi Indonesia. Bogor.

Sosromartono, S. & K. Untung. 2000. Keanekaragaman Hayati Arthropoda Predator dan Parasitoid din Indonesia serta Pemanfaatannya. Proseding Simposium Keanekaragaman Hayati Arthropoda pada Sistem Produksi Pertanian. Cipayung. 16-18 Oktober 2000. Hal.33-46.

Weibull, A.C, J. Bengtsson & E. Nohlgren.2003. Diversity of Butterfly in Agricultural Landscape: The Role of farming System and Landscape Heterogeneity. Ecography 23: 743-750.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar